Maha suci Tuhan yang telah menciptakan serba berpasangan, apa-apa yang digelar-tumbuhkan di muka bumi, baik berupa tumbuh-tumbuhan, diri mereka sendiri maupun apa-apa yang mereka tidak tahu (QS. 36 : 36). Sungguh sangatlah banyak yang termasuk ke dalam “apa-apa yang mereka tidak tahu”! Dari hal yang kita ketahuipun ternyata masih banyak yang belum kita ketahui !
Pasangan sehat adalah sakit, pasangan kaya adalah miskin dan pasangan utara adalah selatan, dst.,dst. Tetapi di mana letak batas-batasnya ? Bukanlah sesuatu yang mudah menentukannya! Kita sering hanya tahu ujung-ujungnya dan bahkan tidak jarang hanya tahu satu ujung saja, tanpa tahu di mana letak ujungnya yang lain. Yang dapat kita “ketahui” kedua ujungnya adalah utara–selatan. Ujung-ujungnya ialah kutub utara dan kutub selatan. Di kutub utara semua arah yang kita tunjuk menjadi selatan, bahkan barat dan timurpun raib begitu saja, tiada lagi utara bagi kita ! Tetapi benarkah utara memang raib dari kita ? Tanpa kita sadari semua orang akan menunjuk kita sebagai utara karena yang menjadi utara saat itu adalah diri kita sendiri !
Masalah batas
Kecuali di kutub bumi, dimanapun kita berada, begitu mudahnya kita menunjuk utara dan selatan, tetapi kalau kemudian ditanya di mana batas antara keduanya ? Kita akan dibuatnya terhenyak, bingung dan mencari kian kemari sampai akhirnya menjadi sadar bahwa batas itu sesungguhnya ada pada diri kita sendiri, yaitu di tempat kita berpijak.
Lalu di mana pula letak batas kaya dan miskin ? Kita hanya tahu batas bawah untuk miskin yaitu bila orang sudah tidak memiliki apapun kecuali hayat dikandung badan ! Batas atas kaya di mana letaknya ? Wallahu ‘alam, karena hanya Allah yang maha kaya ! Jadi sesungguhnya kitapun tidak dapat menentukan batas kaya dan miskin sampai akhirnya kita kembali sadar bahwa batas itu juga ada pada diri kita sendiri ! Artinya kitalah yang menentukan apakah kita kaya atau miskin ! Kalau kita merasa kaya, akan keluar zakat kita, tetapi kalau kita merasa miskin, maka kita akan menunggu-nunggu dizakati orang lain. Lalu apakah kita pernah membahas seseorang dari sudut kemiskinannya? Rasanya tidaklah lazim, kelazimannya ialah betapapun miskin keadaannya, kita tidak pernah membahas berapa kemiskinannya tetapi yang kita bahas adalah berapa kekayaannya !
Masalah batas lain yang lebih pelik lagi ialah batas antara adil dan tidak adil ! Sungguh betapa peliknya menentukan batas siapakah yang berhak menerima BLT (bantuan langsung tunai) dan siapa yang tidak berhak ! Lebih pelik lagi menjawab pertanyaan: Adilkah bila para wakil Rakyat di DPR-RI mendapat tunjangan seratus kali BLT (1 BLT = Rp.100.000.-) setiap bulan, sementara gajinya sudah sebesar 28 juta (Kompas 21 Okt 05 hal.1) di kala para penerima satu kali BLT berebut, berdesakan, berjuang menyabung nyawa (sampai ada yang tewas) untuk mencairkannya? Sungguh bila dibandingkan dengan gaji guru besar yang tidak mencapai tiga juta per bulan, maka penghasilan para wakil Rakyat sebesar Rp. 38 juta/ bulan ini memang dapat sangat dibanggakan ! Di Indonesia ini, sungguh ini anjuran bagi para generasi muda, jangan sampai menjadi rakyat. Kalau di jajaran Pimpinan sebaiknya jangan sampai jadi wakilnya, tetapi dalam hal rakyat, lebih baik jadi wakilnya saja, jangan sampai menjadi Rakyat !
Sehat, sejahtera dan waras
Mengenai sehat dan sakit, kita hanya tahu batas bawah sakit yaitu orang yang sudah menjelang ajalnya. Batas atas sehat di mana ? Wallahu ‘alam, Allah yang maha sehat dan Allah yang maha kuat ! Lalu batas antara sehat dan sakit di mana ? Inipun sulit kita menentukannya sampai akhirnya kitapun kembali menjadi sadar bahwa batas sehat dan sakit kita sendiri yang harus menentukan, yaitu apakah saat ini kita sehat atau sakit ? Untuk masalah sehat inipun, kita lebih banyak melihat berapa sehatnya dari pada berapa sakitnya !
Apakah ada Lembaga, Badan ataupun perorangan yang telah berhasil merumuskan apakah kaya, di mana batas atas kaya dan berapa banyak harta harus dimiliki untuk dapat disebut kaya ? Apakah kaya berarti sejahtera ? Kalau demikian berapa banyak harta harus dimiliki untuk dapat menjadi sejahtera ? Rasanya belum pernah mendengar adanya rumusan tentang hal tersebut ! Tetapi untuk sehat sudah ada yang merumuskannya yaitu Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organisation = WHO), yang mengemukakan bahwa : Sehat adalah Sejahtera jasmani, rohani dan sosial, bukan hanya bebas dari penyakit cacat ataupun kelemahan ! Jadi sehat menurut WHO adalah sejahtera paripurna, sejahtera seutuhnya yaitu sejahtera jasmani, sejahtera rohani dan sejahtera sosial. Kalaupun seseorang benar-benar bebas dari penyakit, cacat ataupun kelemahan, belumlah ia dapat disebut sehat kalau ia tidak sejahtera paripurna, tidak sejahtera seutuhnya ! Sejahtera jasmani adalah sejahtera lahiriah, yaitu tidak ada gangguan, keluhan ataupun kesulitan yang bersumber dari dan kepada jasmaninya, tidak sakit dan tidak saling menyakiti; sejahtera rohani adalah sejahtera batiniah yaitu tidak ada gangguan, keluhan ataupun kesulitan yang bersumber dari dan kepada rohaninya, tidak benci dan tidak saling membenci; sejahtera sosial adalah sejahtera dalam peri kehidupannya dalam masyarakat, yaitu tidak ada gangguan, keluhan ataupun kesulitan yang bersumber dari dan kepada kehidupan sosialnya, tidak memusuhi dan tidak saling bermusuhan.
Lalu apakah ada manusia yang sehat paripurna memenuhi kriteria sehatnya WHO ? Hal demikian tentu sulit kita jumpai karena manusia selama hayat dikandung badan, bahkan sejak sebelum terjadinya pembuahan, dan juga selama kehidupan dalam kandungan ibu, senantiasa dihadapkan kepada berbagai ancaman yang berpotensi menyebabkan terjadinya penyakit dan bahkan maut. Hakekatnya sehat yang kita miliki bukanlah sesuatu yang mutlak tetapi menunjukkan tingkatan atau derajat sehat yaitu keadaan sehat yang terletak diantara sakit sempurna (menjelang ajal) dan sehat sempurna (rumusan sehat WHO). Rumusan sehat WHO memang merupakan rumusan sehat ideal, rumusan sehat yang disebut waras, yaitu sehat yang dicita-citakan. Sebagai suatu cita-cita, sehat WHO atau waras memang harus diletakkan sejauh mungkin, sejauh letak Sila kelima : “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Sungguh kita pun memang tidak tahu di mana gerangan keberadaan “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” itu ! Apakah ia akan segera datang ? Ataukah ia memang masih sangat jauh nun di sana di dunia antah berantah ? Agaknya kita memang masih harus bersabar dan “sabar” ini memang sudah sejak lama menjadi “menu makanan rakyat kita sehari-hari”, begitulah seorang Pembaca menulis di kolom “Surat Pembaca” sebuah Harian ! Namun apapun yang harus kita hadapi, sebagai manusia yang beriman kepada Allah swt dan berpancasila kita harus berusaha untuk menjadi orang yang sewaras mungkin !
Tanggung-jawab
Dengan adanya pengertian bahwa “sehat” yang kita miliki adalah “derajat sehat”, maka kesehatan kita masing-masing masih selalu dapat ditingkatkan. Tetapi sampai di mana kesehatan itu harus kita tingkatkan dan siapa yang harus meningkatkannya ? Memang ada batas Medis-fisiologis yaitu batas Kebugaran yang dapat dipergunakan sebagai patokan, tetapi hakekatnya seperti telah dikemukakan, batas itu kita sendirilah yang menentukannya, artinya kita sendirilah yang harus bertanggung-jawab terhadap tingkat kesehatan yang kita miliki, apakah itu tinggi atau rendah dan berapa tinggi ataupun berapa rendah. Sehat adalah sejahtera, makin tinggi derajat sehat kita, makin tinggi sejahtera kita dan sejatera adalah bahagia, sebab tiada bahagia bila tiada sejahtera. Dampak dari sejahtera individu adalah sejahtera keluarga yang berdampak lebih lanjut pada sejahtera masyarakat. Jadi tanggung-jawab kita kepada derajat sehat yang berarti tingkat sejahtera yang harus kita miliki merupakan pula tanggung-jawab kita terhadap kesejahteraan keluarga dan kesejahteraan masyarakat lingkungan hidup kita, kesejahteraan masyarakat Bangsa dan bahkan kesejahteraan masyarakat Dunia ! Apakah sejahtera setara dengan banyaknya uang dan harta yang ada pada kita ? Sungguh WHO tidak pernah mengaitkan sejahtera dengan harta tetapi dengan sehat ! Tetapi benarkah harta tidak berdampak kepada sejahtera? Memang harta berdampak kepada sejahtera tetapi sifatnya sangat-sangat relatif tergantung pada pola sikap rohaniahnya. Kalau ia merupakan ahli bersyukur atas harta apapun yang dikaruniakan Allah kepadanya, maka ia akan menjadi orang “kaya” yang bahagia dengan hartanya. Dalam hal sebaliknya maka orang itu akan merasa “miskin dan sengsara” dalam limpahan hartanya ! Disinilah pentingnya pendidikan moralitas bangsa !
Batas Kebugaran (Medis-fisiologis)
Bagaimana saya tahu di mana batas itu ! Inilah pentingnya kehidupan bersama, pentingnya persaudaraan, pentingnya kebersamaan, pentingnya saling menolong dan pentingnya saling melayani, pentingnya kehidupan bermasyarakat dan pentingnya kita masing-masing mampu memasyarakatkan diri, menyatukan diri kita dengan masyarakat lingkungan kita, dan itulah yang dimaksud dengan peri kehidupan sosial. Betapa kita perlu bantuan, pertolongan dan layanan dari orang lain disebabkan karena kita memang tidak mampu memenuhi sendiri segala kebutuhan kita yang meliputi kebutuhan jasmani, kebutuhan rohani maupun kebutuhan sosial. Hal ini disebabkan oleh karena ilmu yang dianugerahkan Allah kepada masing-masing kita memang sangatlah sedikit ; …. Mereka tak sedikitpun mencakup IlmuNya, kecuali yang dikehendakiNya…… (QS.2 : 255). Ini berarti bahwa kita dengan ilmu kita masing-masing mempunyai tanggung-jawab untuk saling mengkontribusikannya dalam kebersamaan untuk mencapai tingkat sejahtera bersama yang lebih baik.
Secara objektif, dokterpun hanya dapat menunjukkan siapa yang sehat dan siapa yang sakit, tetapi bila harus menunjukkan di mana batas medis-fisiologis antara sehat dan sakit, maka sungguh sangatlah sulit untuk menentukannya !
Wadah kebersamaan
Kita masing-masing harus bertanggung-jawab terhadap kesehatan diri kita, yang berarti kesejahteraan paripurna diri, keluarga maupun masyarakat, oleh karena kita memang tidak mungkin melepaskan diri dari kebersamaan dalam kehidupan sosial kita. Dalam lingkup yang lebih terbatas kebersamaan dapat menjadi lebih bermakna bila kepada setiap anggotanya ditanamkan rasa persaudaraan. Tetapi persaudaraan dan kebersamaan saja belumlah memperlihatkan kondisinya yang dinamis. Diperlukan wadah untuk mewujudkan kegiatan nyata pembinaan mutu sumber daya manusia yang bersifat saling menguntungkan secara timbal balik, saling melayani antar sesama anggota untuk dapat mewujudkan sejahtera jasmani, rohani maupun sosial. Diperlukan rasa ikhlas dan lapang dada untuk mewujudkan niat baik termaksud di atas. Istilah saling melayani sungguh mencakup saling menghormati, saling menghargai dan saling menyayangi, oleh karena tanpa hal itu mustahil orang mau melayani. Disini pula letak pentingnya pendidikan moralitas bangsa! Tak ada istilah terlambat dalam kehidupan fana untuk berbuat baik, artinya setiap kebaikan dapat dimulai setiap saat dalam kehidupan ini. Ingat, Anda baru akan terlambat bila Anda belum juga mewujudkan niat dan perbuatan baik Anda saat ajal menjemput Anda !
Karunia Allah
Sehat adalah nikmat karunia Allah yang menjadi dasar dari segala nikmat dan kemampuan. Nikmatnya makan, minum serta kemampuan bergerak dan berpikir akan berkurang atau bahkan hilang bilamana kita tidak sehat. Oleh karena itu sehat harus disyukuri. Mensyukuri rahmat dan nikmat sehat ini tidak cukup hanya dengan lisan tetapi harus diwujudkan dalam upaya nyata. Ternyata tidaklah selalu mudah untuk menterjemahkan rasa syukur itu dalam upaya nyata, dalam perbuatan baik yang mendapat ridha Allah, sampaipun Nabi Sulaiman as. berdoa (Surat An Naml ayat 19) : “Tuhanku, tunjukkanlah padaku bagaimana cara mensyukuri nikmat karuniaMu yang telah Engkau limpahkan kepadaku dan kepada orang tuaku agar aku dapat berbuat kebaikan yang Engkau ridhai, serta masukkan aku dengan rahmatMu kedalam golongan hamba-hambaMu yang shalih”.
Setiap orang yang sehat yaitu yang sejahtera lahir (jasmani), batin (rohani) dan sosial sesungguhnya adalah orang-orang yang mendapat limpahan rahmat dan nikmat karunia Allah. Mereka harus mensyukurinya dengan upaya nyata, dalam lingkup kehidupannya masing-masing, aktif berperan saling melayani antar sesama individu untuk menuju sejahtera sosial yang lebih baik, dalam lingkup kehidupan lembaga apapun dan di manapun, dengan mengedepankan persaudaraan dan kebersamaan. Selanjutnya sangat perlu dirumuskan dan dikumandangkan apa yang menjadi semboyan atau motto (Visi dan Missi) lembaga, karena motto lembaga adalah nurani lembaga, yang akan dan harus pula menjadi nurani seluruh anggotanya.
Semboyan atau motto harus tegas, lugas dan ringkas tetapi penuh makna bagi kehidupan di alam fana! Di alam baqa tidak diperlukan lagi semboyan, karena di sana tak ada persaudaraan, tak ada kebersamaan, tak ada pertolongan yang dapat kita berikan ataupun kita terima dari siapapun, tak ada saling melayani, karena di sana kita masing-masing harus bertanggung-jawab sendiri atas segala amal perbuatan kita di alam fana ! Sungguh : “Persaudaraan, Kebersamaan dan Saling Melayani” perlu dikedepankan oleh semua individu untuk mewujudkan sejahtera paripurna bagi semua orang ! Betapa damai dunia bila kita semua sehat ! Betapa damai dunia bila kita semua waras !
Pendidikan
Sasaran utama dan pertama pendidikan adalah membuat semua peserta didik menjadi sumber daya manusia yang sewaras mungkin dalam aspek jasmani, rohani (yang meliputi aspek intelektual dan spiritual) dan sosial, dengan menanamkan sikap dan perilaku yang mengedepankan “Persaudaraan, Kebersamaan dan Saling Melayani”, melalui penanaman keikhlasan yang tinggi dalam menerapkan keilmuan, keahlian dan ketrampilan sesuai bidang pilihannya, dengan senantiasa memohon ridha Allah. Universitas Pendidikan Indonesia sebagai satu-satunya lembaga Pendidikan Tinggi Tenaga Kependidikan di Indonesia saat ini, sungguh memikul tanggung-jawab yang sangat berat, namun keberhasilan dalam misi ini akan langsung membawa UPI kepada Kepeloporan dan Keunggulan (Leading and Outstanding) seperti yang dicita-citakan. Alumni UPI adalah Pendidik, bukan hanya pengajar yang menyampaikan bahan ajar, bukan pula pembimbing belajar, karena UPI bukan lembaga Bimbingan belajar, tetapi lembaga Tinggi Kependidikan.
Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan (FPOK) sebagai satu lembaga dalam lingkungan UPI yang mengemban misi dalam bidang Pendidikan dan Ilmu Keolahragaan, sungguh mempunyai akses yang sangat besar untuk berhasil mencapai Sasaran utama dan pertama pendidikan seperti yang dirumuskan diatas.
Di masyarakat sungguh sangatlah banyak yang memilih olahraga sebagai media kegiatan untuk mengembangkan sejahtera paripurna, persaudaraan, kebersamaan dan saling melayani melalui dibentuknya berbagai perkumpulan Olahraga Kesehatan misalnya Olahraga bagi Lansia, Olahraga Jantung Sehat, Olahraga Asma, Olahraga Diabetes, Olahraga Pecinta Alam, Olahraga Pernafasan, Olahraga Tenaga Dalam dan lain sebagainya. Bagi yang berminat kepada prestasi, khususnya generasi muda juga tersedia berbagai perkumpulan Olahraga kecabangan misalnya Perpani untuk panahan, Pasi untuk Atletik, Pelti untuk tenis lapangan dan lain sebagainya.
Telah diketahui secara luas bahwa dengan penerapan dan pengelolaannya yang tepat maka Olahraga nyata berperan dalam menyehatkan dan mencerdaskan kehidupan Bangsa. Hal ini sungguh harus dihayati oleh para yang terhormat Pembina-pembina Olahraga serta Guru-guru Pendidikan Jasmani dan Olahraga untuk dapat melaksanakan Olahraga secara tepat di Lembaga-lembaga Kependidikan termasuk dalam hal ini adalah Pondok-pondok Pesantren. Sungguh besar peran Olahraga bagi pembinaan moralitas bangsa, bagi kesehatan dan kecerdasan serta tertanamnya kebersamaan, persaudaraan, persahabatan, ketertiban, kejujuran dan sportivitas untuk menuju kepada kehidupan sehat dalam artian waras yang tenteram, sejahtera dan damai ! Sungguh betapa tertib, damai dan sejahtera Dunia ini bila semua mahluk manusia waras !